selalu.id - Di usia ke-732 tahun, Kota Surabaya terus menunjukkan upaya dalam melindungi warganya, termasuk anak-anak yang terjebak dalam kekerasan, kenakalan remaja, dan masalah sosial lainnya.
Namun, menurut pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur, M. Isa Ansori, pendekatan yang dilakukan pemerintah masih butuh penguatan.
“Mereka bukan pelanggar, melainkan korban kemiskinan, lingkungan kumuh, dan sistem sosial yang belum berpihak,” kata Isa, Selasa (20/5/2025).
Isa mengapresiasi program Kampung Anak Negeri (KANRI) dan Asrama Bibit Unggul yang digagas Pemkot Surabaya. Namun, ia mempertanyakan efektivitas jangka panjangnya.
“Berapa banyak yang betul-betul berubah setelah kembali ke rumah? Lingkungannya belum berubah, masa depan tetap kabur,” ujarnya.
Dalam pertemuan dengan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, Isa mengusulkan Surabaya menjadi pionir dalam penerapan Youth Guarantee—model dari Finlandia yang menjamin setiap anak dan remaja mendapat akses pendidikan, pelatihan, pendampingan, hingga peluang kerja dalam satu sistem terintegrasi.
Pendekatan ini mencakup beasiswa sekolah, pelatihan keterampilan seperti servis HP, otomotif, hingga coding. Anak-anak juga didampingi mentor dari guru, relawan, atau alumni program. Mereka diberi akses magang di UMKM atau perusahaan lokal.
“Bayangkan anak usia 14 tahun, mantan pelaku tawuran, dilatih servis HP oleh mekanik yang peduli. Ibunya ikut pelatihan membuat kue dan dapat modal kecil. Hidup mereka bisa berubah total,” terang Isa.
Program ini juga menyasar orang tua: pelatihan kerja jangka pendek, parenting, dan pendampingan agar mereka tetap bisa mengasuh anak sambil produktif.
Isa mendorong KANRI bertransformasi menjadi pusat komunitas inklusif. Di tempat ini bisa digelar kursus komputer, bengkel mini, hingga lapangan olahraga, dengan pelibatan warga sebagai pengajar atau mentor.
Ia juga mengusulkan program “Satu RT Satu Mentor” dan “Kelas Kedua”—belajar nonformal untuk anak yang tak cocok dengan sekolah konvensional. Mereka bisa belajar sambil magang di bengkel, warung kopi, atau UMKM lain.
“Program ini bisa dimulai dari satu atau dua kelurahan seperti Tambak Wedi atau Dupak, tanpa harus menunggu anggaran besar. Bisa dari dana CSR, kampus, atau desa,” ujarnya.
Bagi Isa, anak-anak ini bukan beban, melainkan korban dari sistem yang gagal melihat potensi mereka.
“Rantai kemiskinan dan pengabaian bisa kita putus kalau mau. Kita tak hanya beri ikan, tapi juga kail, kolam, dan orang yang mau mengajari memancing,” pungkasnya.
Editor : Ading