selalu.id – Ribuan warga Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Surabaya masih menunggu kesempatan untuk mendapatkan hunian yang layak.
Saat ini, antrean untuk rumah susun milik (Rusunami) telah mencapai 14 ribu keluarga, sementara pembangunan hunian baru belum mampu mengejar tingginya permintaan.
Melihat kondisi ini, Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Hunian Layak DPRD Surabaya mewacanakan pembangunan hunian vertikal lebih tinggi dari rencana awal lima lantai.
Ketua Pansus, Muhammad Saifuddin, menegaskan bahwa Pemkot Surabaya tidak akan lagi melanjutkan pembangunan rumah susun sewa (Rusunawa). Selain biaya konstruksi yang besar, biaya operasional dan perawatannya juga dinilai terlalu tinggi.
“Jelas tidak mungkin membangun Rusunawa. Yang masuk akal adalah Rusunami dengan skema terbaik, dibangun oleh swasta dengan cicilan ringan,” ujar Saifuddin.
Menurutnya, Pemkot bisa menyediakan lahan, sementara pengembang swasta bertanggung jawab atas pembangunan hunian tersebut.
Dengan skema ini, kata dia, warga yang memenuhi kriteria tertentu bisa memiliki Rusunami tanpa uang muka dan dengan cicilan yang lebih terjangkau dalam jangka panjang.
Anggota Pansus dari Fraksi PSI, Rio Pattiselano, menyoroti antrean panjang warga yang masih menunggu hunian. Menurutnya, pembangunan rusun lima lantai tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.
“Jika hanya membangun lima lantai, antrean ini tidak akan teratasi dalam waktu dekat. Solusinya adalah membangun hunian lebih tinggi, misalnya 20 lantai, agar lebih banyak warga bisa segera mendapatkan tempat tinggal,” kata Rio.
Ia juga menekankan pentingnya efisiensi lahan di Surabaya, mengingat ketersediaan tanah semakin terbatas.
Namun, di sisi lain, kebijakan harga Rusunami masih menjadi perdebatan. Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP) Surabaya, Lilik Arijanto, menilai harga Rp300 juta per unit tidak realistis bagi warga MBR.
“Memaksa MBR membeli hunian seharga Rp300 juta adalah kebijakan yang tidak masuk akal. Ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan hunian layak,” tegasnya.
Menurut Lilik, pembangunan Rusunami seharusnya tidak hanya berfokus pada penyediaan tempat tinggal, tetapi juga harus membantu warga meningkatkan taraf ekonomi mereka.
“Banyak warga yang sudah puluhan tahun tinggal di Rusunawa tanpa ada perubahan ekonomi signifikan. Pemerintah harus hadir dengan solusi nyata, misalnya dengan membuka lapangan pekerjaan bagi mereka, agar memiliki daya beli untuk beralih ke hunian yang lebih permanen,” jelasnya.
Baca Juga: Permintaan Tinggi, Pemkot Bakal Bangun Rusunami di Surabaya Timur Pada 2024
Editor : Ading