• Loadingselalu.id
  • Loading

Kamis, 05 Okt 2023 07:06 WIB

Kampanye Politik di Kampus Diizinkan, Begini Dampaknya

Pakar Ilmu Politik dari Universitas Airlangga (UNAIR) Irfa'i Afham

Pakar Ilmu Politik dari Universitas Airlangga (UNAIR) Irfa'i Afham

selalu.id - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan mengizinkan kampanye politik dalam lingkungan kampus untuk Pemilu 2024. Kampanye di lingkungan kampus ini pun dianggap sebagai medan potensial untuk memperoleh suara pemilih muda.

Menanggapi itu, Pakar Ilmu Politik dari Universitas Airlangga (UNAIR) Irfa'i Afham mengatakan bahwa dengan perkembangan politik yang dinamis ini dan diizinkannya kampanye politik di kampus merupakan cerminan dari dinamika politik yang tak terelakkan.

Baca Juga: TikTok Bukan Dalang Sepinya Pasar, Pengamat UNAIR: Pemerintah Harusnya Ajarkan Digital Marketing

"Saya sepakat dengan kehidupan politik yang dinamis di lingkungan kampus karena di kampus menjadi tempat lahirnya ide-ide politik besar dan alternatif dalam konteks berbangsa dan bernegara," kata Irfa'i, melalui rilisnya, Selasa (29/8/2023).

Menurutnya, aspek praktis jangka pendek perlu dicermati yakni batasan yang diperlukan bagaimana untuk institusi pendidikan tetap menjaga diri dari campur tangan dalam politik praktis yang hanya fokus pada kemenangan dalam pemilu.

"Tetapi seharusnya juga mengarah pada agenda lebih besar yang terkait dengan nasionalisme," ujar dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNAIR itu.

Ia juga menyoroti pentingnya etika dalam kampanye politik di kampus, khususnya dalam menyasar generasi muda. Seperti menggelar agenda utama anti korupsi guna memperkuat budaya politik di kalangan mahasiswa.

"Hal ini bisan mencakup pembentukan karakter yang toleran dan demokratis," ungkapnya

Sebagai seorang akademisi, Irfa’i juga tidak melupakan sejarah yang telah membentuk kondisi politik kampus saat ini. Ia menyinggung pengaruh masa otoritarian di Indonesia terhadap partisipasi politik di kampus.

Baca Juga: 2 Hari Kaesang Langsung Jadi Ketum PSI, Pengamat Unair: Lebih Terhormat Pemilihan Ketua RT

"Kita mengalami 32 tahun era otoritarian di bawah pemerintahan Soeharto. Dampaknya adalah pasifnya keterlibatan politik di kampus. Mahasiswa dan dosen yang berpendapat kritis sering dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai potensi untuk mengembangkan ide-ide besar dalam politik," jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tumbuhnya budaya kritis mahasiswa mengenai dampak juga ada potensi baik dan buruk.

"Saya pikir beberapa pemilu terakhir yang mencuatkan intoleransi akan tetap melekat dalam ingatan bangsa, termasuk di kalangan pelajar. Di sini, pihak akademik harus tegas dalam mengatur batasan dan sanksi," katanya.

Dalam pengalamannya studi di Eropa, Irfa'i menggambarkan bagaimana diskusi antara mahasiswa dan aktor politik di Eropa telah membentuk kultur kritis yang sehat.

Baca Juga: Bawaslu Sebut Relawan Milenial PDIP Tidak Kampanye saat Deklarasi Anies-Muhaimin

"Ketika saya belajar di Eropa, khususnya di Prancis, saya melihat suasana politik yang dinamis di mana mahasiswa, calon legislatif, calon walikota, dan calon presiden berdiskusi tentang gagasan-gagasan. Ini sangat penting dalam membangun kultur kritis di kalangan mahasiswa," katanya.

Dalam hal regulasi, Irfa’i berpendapat bahwa peran pemerintah dan lembaga pengawas sangat penting.

"Dalam menghadapi situasi ini, kampus-kampus yang memiliki otonomi perlu merumuskan aturan yang mengayomi agar politik di kampus tetap sehat. Dengan mengambil langkah bijak, putusan MK ini dapat menjadi peluang untuk membangun politik yang lebih dinamis setelah lebih dari dua dekade reformasi," tutupnya.

Editor : Ading