selalu.id – Tokoh penggerak kebudayaan AH Thony menilai peringatan Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-731 harus menjadi momentum refleksi arah pemajuan budaya, bukan sekadar seremoni tahunan atau pembangunan ulang bangunan tua.
Baca Juga: Dikunjungi Wapres Gibran, Pasar Atom Surabaya Bakal Revitalisasi
“Selama ini revitalisasi cagar budaya hanya berhenti pada fisik bangunan. Padahal nilai sejarah dan semangat kepahlawanan di dalamnya jauh lebih penting,” ujar Thony kepada selalu.id, Rabu (28/5/2025).
Ia menekankan bahwa situs sejarah semestinya tidak hanya dijadikan objek wisata, melainkan ruang hidup yang menyampaikan nilai, membangun karakter, dan memberi dampak ekonomi bagi warga.
“Revitalisasi bukan soal cat tembok atau papan nama baru. Kita harus bicara nilai, fungsi, dan lingkungan. Tempat bersejarah harus hidup dan membentuk karakter masyarakat,” jelas mantan Wakil Ketua DPRD Surabaya itu.
Thony juga menyoroti pentingnya menumbuhkan semangat perjuangan dalam keseharian warga Surabaya. Ia menegaskan bahwa tekad, bukan sekadar keberanian nekat, lahir dari pemahaman sejarah.
“Kita butuh warga dengan tekad. Itu dibangun dari pengetahuan dan kesadaran akan sejarah perjuangan,” ujarnya.
Ia mengkritisi kondisi sejumlah situs sejarah yang tidak terawat dan bahkan dijadikan tempat pembuangan sampah, mencerminkan minimnya kepedulian terhadap warisan sejarah.
Thony pun mendorong Pemerintah Kota dan warga membangun ingatan kolektif agar sejarah tidak hanya dikenang setiap 31 Mei, tetapi menjadi identitas yang hidup dalam keseharian.
Baca Juga: Revitalisasi Wisata Religi Makam Sunan Mbah Bungkul Terkendala Ahli Waris
Selain itu, Thony memperjuangkan masuknya aksara lokal dalam Raperda Kebudayaan sebagai bagian pelestarian naskah kuno (manuskrip), yang banyak ditulis dalam aksara Jawa dan Cina.
“Kalau kita mau memajukan manuskrip, kita harus paham aksaranya. Ini bagian penting dari identitas budaya Surabaya,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan sejarah panjang Kongres Aksara Jawa yang digelar pada 1922, jauh sebelum Sumpah Pemuda.
“Artinya ini bukan hal baru, tapi warisan penting yang harus kita hidupkan kembali,” tambah politisi Gerindra itu.
Baca Juga: Dukung Revitalisasi Kota Lama Surabaya, SIER Beri Bantuan Becak Wisata Listrik
Menurutnya, pelestarian aksara lokal bukan bentuk penolakan terhadap bahasa asing, melainkan membuka ruang pertukaran pengetahuan lintas budaya, sejalan dengan semangat Pasal 32 UUD 1945.
Thony berharap, dengan adanya Perda ini, Surabaya bisa menjadi kota panutan dalam membangun budaya yang hidup dalam semangat masyarakatnya, bukan hanya terlihat dari sisi fisik.
“Kalau masyarakatnya semangat, produktif, dan berintegritas, maka keberhasilannya juga akan tinggi. HJKS ini harus jadi awal dari semua itu,” pungkasnya.
Editor : Ading