selalu.id – Peredaran minuman beralkohol (mihol) secara daring atau online menjadi perhatian serius mahasiswa Universitas Dr. Soetomo (Unitomo).
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Unitomo bersama PMII Perjuangan Unitomo mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Alcoholic: Teguk Problematik”, Selasa (18/2/202) di Auditorium Lt. 5 Gedung F.
Diskusi ini menghadirkan berbagai pihak, termasuk perwakilan Komisi B DPRD Surabaya Budi Leksono, Dinas Komunikasi dan Informatika, Dinas Koperasi dan UMKM, Kasat Pol PP, serta sejumlah praktisi hukum.
Ketua PK PMII Unitomo, Noval Aqimuddin, menyoroti lemahnya pengawasan terhadap penjualan mihol secara online. Ia menegaskan bahwa tidak adanya mekanisme verifikasi usia yang ketat membuka peluang bagi siapa saja untuk membeli, termasuk anak di bawah umur.
“Secara offline, pembelian masih bisa diawasi. Tapi di platform online, siapa saja bisa membeli tanpa batasan yang jelas,” ujar Noval.
Ia juga membandingkan sistem pembatasan usia pada beberapa platform digital, seperti Alfa Gift yang telah menerapkan verifikasi ketat dalam pembelian rokok.
“Seharusnya semua platform menerapkan sistem serupa untuk mihol. Ini masalah serius yang butuh regulasi ketat,” tambahnya.
Mahasiswa Unitomo berencana mengajukan rekomendasi kepada pihak berwenang, baik Kominfo maupun legislatif, untuk memperketat regulasi peredaran mihol daring.
“Kami siap mendorong regulasi, baik di tingkat daerah maupun nasional. Jika perlu ke Kominfo atau DPR, kami akan mengajukan rekomendasi ini,” tegas Noval.
Ketua BEM Fakultas Hukum Unitomo, Humaira, menekankan bahwa hasil diskusi ini akan difokuskan pada penguatan aturan agar celah penjualan mihol online dapat ditutup.
“Kita butuh regulasi yang lebih jelas, entah revisi perda, perwali, atau aturan baru. Yang pasti, pengawasan harus diperketat,” katanya.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi B DPRD Surabaya, Budi Leksono, menegaskan bahwa meski aturan terkait peredaran mihol sudah ada, pengawasan di ranah digital masih sangat lemah.
“Aturannya sudah ada, tapi faktanya masih banyak celah. Apalagi menjelang Ramadan, pengawasan harus lebih tegas,” ujarnya.
Budi juga mengingatkan bahwa sebagai kota perdagangan dan jasa terbesar, Surabaya harus memiliki regulasi yang lebih ketat untuk mencegah penyalahgunaan perizinan dalam bisnis hiburan dan penjualan mihol.
“Kita harus melindungi generasi muda. Aturan jelas menyebutkan bahwa pembeli mihol harus berusia minimal 21 tahun, tapi di lapangan masih banyak pelanggaran,” tandasnya.
Baca Juga: Gandeng Pers, Mahasiswa dan Unitomo, BKKBN Jatim Dorong Penurunan Prevelensi Angka Stunting
Editor : Ading