Jumat, 18 Apr 2025 00:33 WIB

BI Komitmen Jaga Stabilitas Ekonomi, Terapkan Kebijakan Makroprudensial

Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Nugroho Joko Prastowo

Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Nugroho Joko Prastowo

selalu.id - Upaya komitmen Bank Indonesia (BI) untuk terus menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan nasional terus ditingkatkan, meski melalui berbagai ragam kebijakan yang dikeluarkan. Salah satunya yaitu melalui penerapan sejumlah kebijakan makroprudensial. 

Kebijakan ini terbukti mampu menjaga semangat penyaluran kredit secara nasional. Data Bank Indonesia menunjukkan, hingga Juni 2024, tercatat pertumbuhan penyaluran kredit secara nasional mencapai 12,3 persen. Melebihi target BI tahun 2024 sebesar 10-12 persen. 

Sementara di tahun 2025 target penyaluran kredit nasional diperkirakan akan semakin naik di level 11-13 persen. Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Nugroho Joko Prastowo mengungkapkan, kebijakan makroprudensial dirancang tidak hanya untuk memberikan kemanfaatan di pusat tetapi juga untuk daerah.  

"Walaupun kebijakan ini ditujukan untuk bank yang sebagian besar berkantor pusat di Jakarta, tetapi penyaluran kredit bank tersebut juga ada di daerah. Sehingga semangat dari bank yang memperoleh insentif tadi manfaatnya juga akan  dirasakan oleh daerah," ungkap Nugroho Joko Prastowo saat dikonfirmasi selalu.id, Senin (29/7/2024).

Dikatakannya, aktivitas ekonomi imbas dari kebijakan ini dirasakan di daerah. Misal proyek pertambangan nikel di Sulawesi proyek pangan untuk sawit di Sumaetra, juga hilirisasi smelter yang ada di Gresik Jawa Timur. "Itu semua mendapatkan insentif. Jadi rembesan kebijakan ini manfaatnya juga akan dirasakan daerah," lanjutnya.

Lebih lanjut Nugroho menjelaskan, sejumlah kebijakan makroprudensial yang telah dilaksanakan diantaranya adalah Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang ditujukan untuk mengoptimalkan ruang likuiditas perbankan dalam rangka mendorong pertumbuhan kredit dengan tetap menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).

Menurutnya manfaat penerapan KLM ini salah satunya dengan mendapatkan likuiditas melalui penurunan dari Giro Wajib Minimum (GWM) maksimal sebesar 4 persen. Saat ini, lanjut ia menjelaskan, rasio GWM mencapai 9 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Dengan adanya penurunan sebesar 4 persen, maka kewajiban bank untuk menyetorkan GWM ke BI hanya sekitar 5 persen.

"Tambahan likuiditas ini akan menambahkan amunisi bagi bank yang menyalurkan kredit sehingga bank tidak perlu berkompetisi mendapatkan tambahan dana dari pihak ketiga karena ada tambahan dari bank Indonesia," ungkapnya.

Beedasarkan dari data yang ada, BI menunjukkan bahwa penguatan KLM telah menambah likuiditas perbankan hingga sebesar Rp 256 triliun pada saat penerapan awal dan diperkirakan menjadi Rp 280 triliun pada akhir tahun. Kemudian juga bagi ekonominya, dengan adanya kebijakan ini akan akan mampu mempertahankan penyaluran kredit yang tinggi.

Langkah ini penting dilakukan karena saat ini ada banyak tantangan, baik dari global yang merembet kepada Indonesia, mulai dari tingginya inflasi hingga kenaikan suku bunga acuan sehingga hal ini mengurangi semangat penyaluran kredit dan permintaan kredit. "Dan insentif ini mampu menjaga pertumbuhan ekonominya," cetusnya.

Selain KLM, juga ada kebijakan pelonggaran Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) perbankan yang mulai diberlakukan BI pada 1 Agustus 2024 untuk memperkuat pengelolaan pendanaan perbankan Indonesia di luar negeri.

Ada dua langkah yang akan dilakukan. Pertama dengan memperluas cakupan pinjaman luar negeri yang masuk ke dalam kewajiban luar negeri jangka pendek terhadap rasio permodalan perbankan yang akan disesuaikan dengan assesmen dan rendahnya risiko.

"Kalau assesmen menunjukkan kondisi resikonya rendah dan dibutuhkan pendanaan dari luar negeri, maka bisa dinaikkan menjadi 35 persen. Begitu risikonya naik dan kebutuhan menurun maka bisa diturunkan menjadi 25 persen," ungkapnya.

Langkah kedua dengan tidak masukkan produk derivatif, yakni turunan dari transaksi atau repo instrumen yang diterbitkan pemerintah atau BI pada rasio aset yang dimiliki, termasuk Utang luar Negeri (ULN) jangka pendek. Kebijakan ini, menurutnya, akan meringankan rasio penyaluran kredit perbankan di luar negeri.

Baca Juga: Perekonomian Indonesia Lesu Sebabkan Penjualan Mobil Anjlok

Editor : Ading