• Loadingselalu.id
  • Loading

Kamis, 05 Okt 2023 03:13 WIB

Essai

Efek Obat Bius Demotivasi dan Naif Stoikisme

  • Reporter : Ading,
  • Sabtu, 19 Agu 2023 16:21 WIB
Meme Demotivasi

Meme Demotivasi

Esai oleh Dyah Ayu Setyorini

“Every dead body on Mt. Everest was once a highly motivated person, so… maybe calm down.” -no name

Baca Juga: Luffy, Joy Boy dan Kebebasan Absolut

"Agar tidak dimanfaatkan orang lain maka jadilah tidak bermanfaat." - no name

"Terakhir kali menang lomba, hadiahnya bikin capek. Terlahir ke dunia." - no name

Demotivasi dan Manusia Modern

selalu. id - Bukankah quote-quote itu dekat sekali dengan kehidupan kita hari ini, kehidupan masyarakat modern hari ini. Kita masih ingat benar dekade lalu, orang-orang seperti Mario Teguh, Merry Riana, acara tv Ted Talk dan sebagainya - orang-orang pemberi motivasi, masih banyak sekali digandrungi.

 

Jelas tujuannya dari mendengarkan, membaca motivasi-motivasi itu kita bisa tersuntikkan psikotropika yang melipat gandakan adrenalin untuk melalui segala hal berat yang kita hadapi. Namun itu dekade lalu, malah sewindu lalu, atau malah 4 tahun lalu, yang pasti kini tak banyak lagi orang menggandrungi seminar-seminar motivasi, bahkan untuk sekedar mendengarkan di youtube Mario Teguh ngomong saja sudah enggan.

 

Hari-hari ini, quote-quote seperti yang dituliskan di atas tadilah yang begitu masif dikonsumsi. Demotivasi, namanya. Artinya tidak (penurunan)-motivasi, yang bertaut konteks pada keadaan pikiran yang ditandai dengan kurangnya minat dan kenikmatan aktivitas yang dulunya dianggap menyenangkan.

 

"Buat apa berusaha kalau bisa malas-malasan." Ya... semacam itulah.

 

Jika motivasi ibarat kata adalah suntikan adrenalin yang menciptakan satu fatamorgana untuk membuat terus mampu melangkah menghadapi hal-hal berat dalam hidup, demotivasi adalah obat bius yang dikonsumsi untuk upaya ilutif menihilkan atau mengihilangkan hal-hal berat itu dalam kehidupan, bukan dengan menyelesaikanya tapi dengan melihatnya sebagai -yang tak ada-. Disitulah letak ilutifnya, dan pada dasarnya baik kata-kata bijak motivator maupun quote-quote demotivasi memiliki efek ilusi yang sama. Hanya saja pada kata-kata bijak motivasi, tawarannya ilusinya hanya pada efek fatamorgana, sedangkan perjalanan yang berat itu tetap harus dilalui.

 

Maka, demotivasi sebagai obat bius nyatanya banyak diamalkan oleh masyarakat modern hari ini, efek ilusi yang ditawarkan adalah hal-hal berat dari modernitas itu bisa menjadi -tidak terlihat. Begitulah modernitas diam-diam menjadi begitu menakutkan dan itu kini menjadi seolah-olah memburu dan menerkam kita dari banyak sisi. Menyudutkan dan menekan manusia-manusia pencipta dan penikmat modernitas itu sendiri pada situasi-situasi tanpa penjabaran, yang jika bisa situasi tanpa pejabaran itu lebih baik tidak harus dijabarkan, dan dibiarkan disana di ruang-ruang tak terlhat.

 

Situasi tanpa penjabaran yakni situasi-situasi ingin tak ingin, semacam ingin cinta, dicintai dan mencintai tetapi tak ingin segala rasa sakit dan luka yang niscaya terproduksi seiring cinta sendiri tumbuh. Maka pada akhirnya demotivasi ini menjadi life hack paling ampuh untuk kabur dari kenyataan.

 

Begitulah mengapa masyarakat hari ini begitu mengamini demotivasi ini, karena modernitas yang terus menutut manusia untuk terus sinergis pada gerak yang cepat dan berbagai kerangka sosial yang terus mengkulminasi nilai dan menjadi pakem, membuat berbagai kekangan dan gempuran bertubi-tubi bagi manusia-manusia yang tidak mampu merumuskan sendiri valuasi nilai dan narasi-narasi personalnya.

 

Gempuran-gempuran valuasi nilai dan pakem yang dijejalkan pada masyarakat modern yang pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari modernitas itu sendiri, menjadi komponen asing yang melelahkan, membuat nestapa dan bahkan menyakitkan, karena begitu riuh dan pekatnya gempuran-gemuran itu masuk dan menjadi terlalu sukar untuk dijabarkan. Hingga menciptakan friksi-friksi dalam personalitas masyarakat hari ini. Situasi ingin tak ingin, paradoksal. Maka, terciptalah begitu banyak quote-qoute, meme, dan bahkan forum-forum percakapan demotivasi hari-hari ini.

 

Demotivasi, Salah Paham Stoik

Demotivasi hari ini pun banyak disangkutkan pada Stoikisme atau Stoic, yang secara singkat dan cenderung disimplifiasi tafsirnya menjadi filosofi yang berkaitan dengan kebahagiaan hidup dan bagaimana menghindari pikiran-pikiran stres dan jenuh, menekan emosi, dan penurunan naluri kompetitif.

 

Sedangkan Stoikisme sendiri, adalah sebuah aliran atau mazhab filsafat Yunani kuno yang didirikan di kota Athena. Mazhab itu kemudian menjadi landasan pemikiran untuk sebuah sekolah yang disebut Stoa. Pandangan yang mencolok dari orang-orang Stoa adalah tentang etika bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan apatheia, yakni hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia. Sikap tersebut merupakan cerminan dari kemampuan nalar manusia, bahkan kemampuan tertinggi dari semua hal, atau yang kemudian disebut sebagai transenden pada paradigma filsafat yang berkembang setelahya.

 

Cropping konteks dari Apatheia yang dianut oleh orang-orang Stoa ini yang kemudian begitu saja dianut oleh banyak orang akhir-akhir ini. Sebegitu populernya hingga meme-meme dan kutipan-kutipan demotivasi menjadi liar mengisi ruang-ruang sosial masyarakat.

 

Masalahnya, Stoikisme hari ini seringkali hanya sebagian yang dipahami. Ribuan tahun penyalahgunaan kata "stoic" sebagai sinonim untuk tanpa emosi, tanpa kompetisi, tanpa upaya, tanpa stress dan sebagainya tidak berarti dan sama dengan Stoikisme. Sebagai filosofi, paradigma, dan sodoran cara berfikir, Stoik hari ini begitu berpotensinya melenceng dari akar pemikiran awalnya.

 

Orang menganggap Stoikisme adalah tentang represi atau tentang menyangkal perasaan diri sendiri sehingga Anda dapat memperlakukan dunia secara rasional dan objektif. Ini tidak hanya merupakan distorsi dari aliran filosofi yang rumit, tetapi menurut penelitian baru, ini merusak kebestarian kita sebagai umat manusia.

 

Padahal jika merujuk pada satu saja perbandingan sederhana, tentang bagaimana pemikiran Stoik Kuno bekerja dan bagaimana Stoik hari ini diaplikasikan tentu kita akan mudah memahami mengapa Stoikisme hari ini begitu disalah pahami.

 

"Kebebasan dicapai bukan dengan pemenuhan hasrat seseorang, tapi dengan menghilangkan hasrat tersebut." Epictetus.

 

Seperti halnya kutipan dari apa yang disampaikan Epictetus yang menujukkan sebuah kebijaksanaan atas apa itu kebebasan dalam konteks aphatheia Stoik. Namun, kita tidak boleh dan tidak bisa lupa bahwa filsafat adalah sebua paradigma, sebuah metode, sebuah alat berfikir yang tentunya tidak bisa dikutip pada satu kalimat belaka, jika secara sembrono mengutip kemudian kutipan itu kita jadikan satu pemakluman yang absah, disitulah ia akan mencipta Barnum Effect, yaitu, semua hal untuk semua orang, tetapi secara filosofis samar-samar.

 

Jika merujuk hanya pada kutipan Epictetus diatas maka sebenar-benarnya kita sedang jumping conclusion atas paradigma Stoikisme itu sendiri. Maka quote tanpa nama, "Agar tidak dimanfaatkan orang lain maka jadilah tidak bermanfaat." bisa sangat mungkin dan absah untuk dibenarkan.

 

Tentu saja tidak demikian dan tentu saja itu merupakan degadrasi pemikiran. Lantas, Stoikisme hari ini jika dengan begitu saja egois dipahami pada scope-scope kecil itu, bukankah hanya akan membawa penganutnya pada useless and illusive escapism semata.

 

Naif Stoikisme

Pada tahun 2022, tim internasional yang terdiri dari filsuf, ilmuwan, dan psikolog merilis sebuah makalah berjudul “Misunderstood Stoicism: The Negative Association Between Stoic Ideology and Well-Being.” dan apa yang ditunjukkan makalah ini adalah bahwa semakin banyak orang mempraktikkan Stoikisme, semakin tidak bahagia mereka. Sebuah filosofi yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan justru menurunkannya.

 

Namun, penting untuk diingat bahwa ini bukanlah Stoicisme seperti yang dipahami dengan baik. Inilah yang disebut tim sebagai, "ideologi Stoa yang naif." Ideologi Naif Stoik adalah apa idelogi Stoik yang dimaknai secara serampangan dengan sedikit penelitian tentang topik tersebut dan sebenar-benarnya abai pada paradigma pemikiran yang ditawarkan. Ini adalah Stoicisme yang setengah dibaca, setengah dipahami dari seseorang begitu saja mencomot quote-quote Epictetus atau Seneca tanpa mempelajari mereka secara mendalam.

 

Menurut makalah tersebut, ideologi Stoa yang naif didefinisikan oleh empat asumsi:

 

Stoic Taciturnity: Penganut memeraktekkan di mana emosi tidak boleh dibicarakan dan berpikir mereka harus merenung dan diam sepanjang waktu.

 

Stoic Serenity: Gagasan bahwa kita seharusnya tidak merasakan emosi yang kuat. Penganut Stoik semacam ini percaya bahwa orang yang tertawa, menangis, atau marah tidak bisa menjadi Stoa.

 

Stoic Endurance: Keyakinan bahwa manusia harus menanggung penderitaan fisik, jadi beberapa orang justru menjadi masokis atas hidupnya sendiri.

 

Death Acceptance: Menjadi sepenunya menerima kematian daripada menjalankan kehidupan dengan sepenuh-penuhnya. Maka, Momento Mori tak lebih dari sekadar tato dan quote belaka.

 

Lebih jauh dari pada keempat kategori dari hasil penelitian itu, penganut Naif Stoikisme ini begitu berpeluang dan berpotensi untuk menjadi nihilisit alih-alih menuju transenden dalam proses pemaknaan dan pencarian aphatheia Stoic itu sendiri.

 

Pada akhirnya dalam penelitian itu pun ditunjukkan bahwa Naif Stoik tidaklah sehat. Tim peneliti melihat efek ideologi Stoa yang naif pada dua jenis pencapaian Well Being yang berbeda, yakni hedonis dan eudaimonik. Secara umum, well being hedonistik berkaitan dengan kepuasan dan seberapa bahagia seseorang secara meterialis subjektif. Eudaimonic, lebih jauh adalah tentang berkembang dan menemukan makna dalam hidup.

 

Misalnya, seseorang yang bisa puas dengan apartemen baru yang dimilikinya dan menikmati malam dengan berpesta dengan teman-teman (well being hedonistik) tetapi tetap merasa merana dalam hidup secara lebih umum (well being eudaimonik).

 

Para peneliti itu menemukan fakta bahwa Naif Stoikisme pun bersinggungan erat dengan salah kaprah pengupayaan well being dalam perspektif hedonis dan eudaimonik. Itu berarti sebenarnya Naif Stoik membuat Anda kurang bahagia, baik secara meterial subyektif maupun dalam arti eksistensial yang lebih dalam.

 

Faktor-faktor yang sebagian besar mendorong hal ini adalah sikap atas kecenderungan dan keinginan untuk keluar dari masalah dengan menekan menekan emosi, baik pengalaman maupun ekspresi, dan menganggap penyelesaian masalah terbaik adalah dengan tidak menganggapnya ada, atau delutif ilutif atas masalah tersebut yang menyebabkan dengan kualitas well being yang lebih rendah.

 

Karena dalam psikologi pun diabsahkan, semakin seseorang mencoba menyangkal perasaannya sendiri, atau semakin jarang Anda membicarakannya, semakin rusak pula kesehatan mental dan fisik orang tersebut.

 

Maka Naif Stoikisme adalah bukan sebenar-benarnya Stoik yang dibawakan oleh Seneca, Epictetus atau Marcus Aurelius. Naif Stoikisme adalah Stoik yang disalahpahami, tidak sepenuhnya dimengerti dan tidak mengapresiasi sebaik-sebaiknya sebagai paradigma berfikir, sehingga justru hanya membawa penganutnya yang keliru itu pada Useless and Ilutif Escapism semata.

 

Lantas apakah Stoik itu sendiri kemudian salah atau sudah tidak relevan?

 

Sebagai paradigma berfikir, filsafat manapun tidak memiliki batasan masa. Baik ia berasal dari pemikiran kuno ataupun pemikiran modern, karena sebagai paradigma ia seyogyanya adaptif dengan bagaimana kognisi dan pemikiran manusia bekerja hari ini, begitupun pula dengan Stoik.

 

Pencapaian pada paradigma etika aphatheia Stoik pada titik kulminasi yang tepat akan membawa penganutnya pada transendensi yang mencipta ekuilibrium atas berbagai tegangan internal maupun eksternal.

 

Untuk itu, pada penelitian yang dilakukan secara convenience sampling di tiga negara yakni AS, Norwegia, Selandia Baru, mereka mencatat bahwa Stoic Endurance dan Death Acceptence secara positif terkait dengan well being eudaimonic — lebih mampu menghadapi tekanan dan bersedia menanggung atau melihat penderitaan sebagai bagian hidup yang tak terelakkan tetapi dapat ditanggung. Sehingga memang tingkat daya tahan ketubuhan berdampak lebih baik.

 

Pada titik ini, meski dua ketegori tersebut tetap merupakan Naif Stoikisme tetapi kita masih bisa melihat bahwa dasar dari pemikiran dan paradigma Stoik Kuno yang meski hanya dipahami sekenanya dan tidak utuh dipelajari, tetap memiliki dampak positif sebagai upaya umat manusia untuk sejahtera, well being.

 

Baiklah, kita bahas sedikit bagaimana paradigma Stoik sebenarnya bekerja untuk konsep apatheia, yakni hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia dan kedekatannya pada konsep Momento Mori yakni orang Stoa menentang keterikatan duniawi yang dianggap sering bertindak sebagai pengalih perhatian dari tujuan yang lebih tinggi, Tuhan atau sesuatu yang diletakkan pada dimensi transendental misalnya.

 

Terlebih pemahaman bahwa segalanya pasti mati, dan segalanya harus berlalu, membawa pemikiran bahwa segala ornamen kehidupan tidak sebenar-benarnya hal yang manusia butuhkan. Teman bisa menghilang kapan saja; anak-anak kita bisa terkena penyakit yang mengerikan; pasangan kita mungkin mati besok.

 

Dengan mendekati pemahaman ini, orang Stoa menilai bahwa dengan mengingat kematian akan dapat mempersiapkan manusia untuk menghadapi kematian itu sendiri dan dengan demikian pemahaman itu mampu menumpulkan atau mencegah pukulan dan kerugian psikologis yang mungkin dialami, yakni salah satunya dengan tidak terikat pada hal-hal yang fana.

 

Momento Mori adalah satu frasa yang menunjukkan bahwa setiap manusia akan mati, tapi juga untuk itu manusia harus hidup. Mengutip pada frasa latin lainnya, "Vivamus Moriendum est, Maka Mari Kita Hidup karena Kita akan Mati."

 

Artinya, konsep tersebut pun memberikan satu pemahaman bahwa dalam menunggu kematian yang niscaya pun, orang Stoa terus melihat bahwa masih begitu layaknya hidup untuk diperjuangkan sebaik-baiknya. Seperti halnya kata Seneca, "Hidup itu seperti drama: bukan panjang durasinya, tapi keunggulan aktingnya yang paling penting."

 

Paradigma yang dibangun oleh Stoikisme Kuno tidak bisa dicomot dalam scope-scope kecil saja, sebagai paradigma ia harus dibaca dengan metodologi pemikiran yang benar.

 

Bahkan Stoa Kuno tidak secara egois menyimpulkan bahwa emosi tidaklah penting sehingga manusia tidak perlu merasakannya meski disebutkan bahwa Filsafat Stoik mengajarkan bahwa keterikatan mengarah pada penderitaan. Komitmen menyebabkan rasa sakit.

 

Tapi “Kesedihan adalah harga yang harus kita bayar untuk cinta.” begitulah Queen Elizabeth II berkata. Kita dapat mengetahui fakta ini namun tetap memilih untuk mencintai, menerima bahwa penderitaan akan mengikuti. Namun, Ini memberi tahu kita bahwa cinta adalah rasa sakit yang diterima secara sadar. Tidak peduli seberapa dingin, panjang, dan kerasnya tahun-tahun kesedihan, itu adalah harga yang pantas bahkan untuk satu detik dari cinta sejati yang diketahui. Singkatnya, terkadang (tetapi tidak selalu) kesedihan dan penderitaan sepadan dengan cinta yang telah berlalu sebelumnya.

 

Dan begitu pula seharusnya Momento Mori dipahami, bagaimana mengingat kematian yang niscaya dan bagaimana hidup dengan berhadap-hadapannya pada tragedi yang menanti di depan kita. Hidup dengan sepenuh-penuhnya hidup. Dan bukankah Epictetus pernah berkata, "Takdir kita tidak ditentukan oleh apa yang terjadi pada kita, tetapi oleh bagaimana kita meresponnya."

 

Oleh karenanya, sekali lagi, menganut Stoik tidak bisa kemudian hanya mencomot quote-quote pemikirnya dan secara tidak sadar menjadi Naif Stoik, hanya karena quote-quote itu cukup tangguh untuk menjadi pain killer atas kehidupan kita sebagai manusia yang penuh luka dan rasa sakit. Karena setelah lepas dari upaya untuk tetap sejahtera - well being dengan cara Stoik, Naif Stoik masih berpotensi untuk membawa penganutnya pada useless and illusive escapism yang pada akhirnya hanya dibuat dalih untuk melegalkan sikap-sikap tidak kompetitif, menyerah pada kehidupan dan nihilis. Bukankah ijika demikian ideologi hanya menjadi belenggu untuk penganutnya sendiri?

 

Lantas untuk apa hidup jika menolak kehidupan itu sendiri?

 

Mungkin pelajaran terbesar dari seluruh esai panjang ini adalah jangan percaya pada filosofi pop setengah matang dan prematur. Jika Anda akan berkomitmen pada filosofi dan ingin hidup sesuai dengan cita-citanya, jangan hanya baca quote-quotenya tapi pelajari paradigma berfikirnya.

Editor : Redaksi