selalu.id - Kudatuli atau Kerusuhan 27 Juli 1996 adalah tragedi peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar. PDI Perjuangan Kota Surabaya menggelar pun peringatan Kudatuli dengan menghadirkan para pelaku sejarah gerakan arus bawah PDI Pro Mega atau Promeg, yang di tahun 1999 berubah PDI Perjuangan.
Baca Juga: PDIP Surabaya Luncurkan BPEK untuk Perkuat Ekonomi Rakyat, Khusnul Ingin Usung Gagasan Bung Karno
Peringatan diisi doa dari pemuka lintas agama, yang dipersembahkan untuk semua korban peristiwa 27 Juli 1996, pejuang demokrasi dan pejuang PDI Perjuangan, yang telah gugur dan meninggal dunia. Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya, Adi Sutarwijono, mengatakan peristiwa 27 Juli 1996 adalah puncak pengambilalihan PDI di bawah Megawati Soekarnoputri, yang sah dan konstitusional, oleh kelompok PDI Soerjadi yang diback up kekuatan keamanan dan aparatur negara.
Pengambilalihan kekuasaan itu ditandai kongres ilegal di Medan, Juni 1996, yang dilakukan Soerjadi, Fatimah Ahmad, Buttu Hatapua, dkk, yang disokong rezim Orde Baru. Berpuncak pada penyerbuan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada Sabtu 27 Juli 1996 subuh.
“Peristiwa 27 Juli 1996 menyulut kerusuhan dengan banyak korban luka-luka dan meninggal dunia, korban hilang dan tidak ditemukan. Peringatan ini untuk merawat ingatan dan kesadaran untuk senantiasa menegakkan kedaulatan PDI Perjuangan,” kata Adi.
“Bahwa PDI Perjuangan di bawah komando Ibu Megawati telah melewati berbagai babakan sejarah yang sulit dam pahit. Telah melampaui peristiwa-peristiwa kelam akibat penindasan penguasa di masa lalu. Sekarang PDI Perjuangan tegak berkibar dan mengakar di hati rakyat,” kata Adi, yang juga Ketua DPRD Kota Surabaya.
Beberapa pelaku sejarah dihadirkan dalam peringatan di Kantor DPC PDIP Surabaya. Para kader banteng memberikan penghargaan pada para pelaku sejarah atas dedikadi dan pengorbanan di masa lalu. Diantaranya Pak Solikin, tukang becak yang dipukul aparat hingga jatuh di selokan. Juga kakek Mat Dolah, loyalis Megawati.
Baca Juga: Suport Kemenangan PDIP di Pemilu 2024, Ketua BMI Surabaya Fokus Garap Suara Milenial
“PDI Perjuangan didirikan dengan perjuangan hebat oleh kader banteng, yang dipenuhi keringat, darah dan air mata, pengorbanan harta benda dan nyawa. Partai ini tidak sekadar didirikan dengan akta notaris,” kata Adi.
Dalam kesempatan itu, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya Baktiono, yang juga pelaku sejarah, didapuk memberikan refleksi peristiwa.
Ditampilkan koleksi foto-foto sejarah dan pemutaran video peristiwa 27 Juli 1996. Baktiono mengingatkan perjuangan arus bawah rakyat yang setia kepada Megawati dan Bung Karno.
Baca Juga: PDI-P Surabaya Anggap Biografi Buruk Armuji di Wikipedia Tak Pengaruhi Kinerja
“Tragedi 27 Juli 1996 adalah peristiwa kelam anti demokrasi. Tidak ada gerakan reformasi yang menjatuhkan rezim Orde Baru, jika tidak ada Kudatuli. Tidak ada demokrasi, jika tidak ada reformasi,” kata Baktiono.
Peringatan 27 Juli 1996 dihadiri kader-kader muda milenial dan gen-Z, sehingga terjadi pewarisan sejarah.
“Kesadaran sejarah terus kita rawat dan dedikasikan kepada rakyat. Dengan terus turun di masyarakat, tiada henti, untuk membuat PDI Perjuangan semakin dicintai rakyat,” kata Adi. (Adg)
Editor : Ading