selalu.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia menggelar konsultasi publik terkait draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) berbasis HAM di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya), Rabu–Kamis (21–22 Mei 2025).
Baca Juga: Peduli Hak Asasi Manusia, Pemkot Surabaya Diganjar Penghargaan
Kegiatan ini melibatkan unsur masyarakat sipil, aparat penegak hukum, dan akademisi, dengan tujuan menggali masukan mengenai revisi RUU KUHAP agar lebih inklusif dan menjamin perlindungan terhadap kelompok rentan.
Wakil Ketua Komnas HAM RI, Abdul Haris Semendawai, hadir bersama Wakil Dekan I FH Ubaya, Peter Jeremiah, SH., MH., serta para akademisi. Dalam sambutannya, Peter menjelaskan bahwa hasil diskusi ini akan dirangkum dalam kajian akademik yang diserahkan kepada DPR RI sebagai masukan dalam penyusunan RUU KUHAP.
Tujuh isu utama yang menjadi fokus pembahasan meliputi kewenangan penyelidikan dan penyidikan, keadilan restoratif, perlindungan kelompok rentan, bantuan hukum, hak atas peradilan yang adil dan transparan, pembuktian dan bukti digital, serta peran lembaga negara.
Diskusi menghasilkan 11 poin penting, antara lain mengenai upaya paksa, mekanisme praperadilan, perlindungan hak tersangka, terdakwa, saksi ahli, dan korban. Salah satu rekomendasi utama adalah mengembalikan tahap penyelidikan yang sebelumnya sempat dihilangkan dalam draf revisi.
Durasi penyidikan juga menjadi sorotan, untuk mencegah kasus mangkrak dan memastikan penetapan tersangka dilakukan dalam waktu yang wajar.
Tujuh Catatan Komnas HAM terhadap RUU KUHAP:
1. Dominasi Polisi dalam Penyidikan
Komnas HAM menilai RUU KUHAP masih memberi kewenangan besar kepada kepolisian, khususnya dalam penggunaan upaya paksa seperti penangkapan dan penyadapan. Perlu ada mekanisme kontrol dan pengawasan eksternal agar tidak terjadi penyalahgunaan.
2. Restorative Justice Harus Berpihak pada Korban
Skema keadilan restoratif dinilai belum berpihak pada korban, terutama dalam kasus kekerasan seksual dan kekerasan terhadap anak. Komnas HAM menegaskan bahwa pendekatan damai tidak boleh mengabaikan pemulihan korban.
3. Perlindungan untuk Kelompok Rentan Masih Lemah
Disabilitas, perempuan, anak, dan lansia belum memperoleh perlindungan memadai. RUU perlu mengatur fasilitas pendukung seperti juru bahasa, ruang pemeriksaan khusus, dan pendamping hukum yang ramah kelompok rentan.
4. Akses Bantuan Hukum Terbatas
RUU KUHAP hanya mengakui advokat sebagai pemberi bantuan hukum, sementara peran paralegal belum diakui secara resmi. Padahal, paralegal berperan penting di wilayah-wilayah terpencil.
5. Hak atas Peradilan Adil Belum Dijamin
Komnas HAM mencatat masih banyak keluhan mengenai ketidakadilan dalam proses pra-peradilan dan penahanan. RUU belum memuat ketentuan yang menjamin hak atas sidang yang cepat dan transparan.
6. Pengakuan terhadap Bukti Digital Lemah
RUU KUHAP belum mengatur secara rinci legalitas bukti elektronik seperti hasil cloning data. Selain itu, kesaksian dari penyandang disabilitas mental juga perlu diakomodasi tanpa merugikan terdakwa.
7. Peran Komnas HAM Perlu Diperkuat
Komnas HAM mengusulkan agar diberi kewenangan formal dalam proses penyidikan dan pelaksanaan restorative justice, bukan sekadar menjadi pemantau. “Kami ingin terlibat aktif dalam penegakan hukum dan pemantauan pelanggaran HAM,” tegas Abdul Haris.
Empat narasumber hadir dalam kegiatan ini, yakni Abdul Haris Semendawai (Wakil Ketua Komnas HAM), Peter Jeremiah, SH., MH. (Wakil Dekan I FH Ubaya), Dr. Freddy Poernomo, SH., MH., dan Dr. Sonya Claudia Siwu, SH., MH., LL.M.
Komnas HAM berharap catatan kritis yang disampaikan dapat memperkuat arah pembaruan hukum acara pidana yang lebih adil, transparan, dan menjamin perlindungan hak asasi setiap warga negara.
Editor : Ading