selalu.id - Maraknya kekerasan yang melibatkan remaja, termasuk aksi tawuran di kawasan Tenggumung Karya Lor, Semampir, Surabaya, menjadi perhatian serius pemerhati kebijakan sosial sekaligus pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur.
Pengurus LPA Jatim, M Isa Ansori, mengusulkan pendekatan baru berupa pembentukan Rumah Pemulihan Anak (RPA), yakni lembaga berbasis rehabilitasi sosial dan pendidikan karakter bagi anak-anak pelaku kekerasan atau mereka yang kehilangan arah dalam sistem pengasuhan konvensional.
“Ini bukan lagi sekadar insiden. Ini alarm bahwa kita sedang menghadapi krisis moral pada anak-anak, terutama remaja,” ujar Isa, Selasa (6/5/2025).
Menurut Isa, gejala sosial seperti tawuran, kekerasan terhadap orang tua, hingga penolakan terhadap sekolah menunjukkan bahwa negara tak bisa lagi hanya menunggu laporan.
“Negara harus lebih aktif membaca data sosial. Dengan akses ke big data, deteksi dini seharusnya bisa dilakukan,” jelasnya.
Isa menegaskan, intervensi terhadap anak-anak dalam kondisi darurat bukan bentuk penghukuman, melainkan perlindungan sebagaimana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Anak-anak ini tetap berhak atas pendidikan, kasih sayang, dan lingkungan yang membina karakter. Kalau keluarga tak lagi mampu, negara harus hadir—dengan pelukan yang tegas dan ruang pemulihan yang aman,” tegasnya.
Isa menggambarkan RPA bukan sekadar rumah singgah, melainkan lembaga yang menyediakan pendampingan psikologis, pendidikan vokasi, pelatihan keterampilan, hingga penguatan karakter. Penempatan anak di RPA dapat dilakukan melalui rekomendasi psikolog, keputusan pengadilan, atau asesmen pemerintah daerah.
“Lembaga ini bisa dibangun melalui kolaborasi lintas sektor: dinas sosial, pendidikan, kepolisian, hingga komunitas,” tambahnya.
Sebagai Kota Layak Anak (KLA), Surabaya dinilai memiliki infrastruktur dan komitmen kebijakan yang mendukung realisasi RPA sebagai proyek percontohan nasional.
“Surabaya punya potensi untuk menjadi pelopor. Fasilitas seperti rumah singgah, sekolah alternatif, dan layanan konseling sudah ada. Tinggal bagaimana mengonsolidasikannya dalam bentuk yang lebih terstruktur,” terang Isa.
Ia juga menyoroti keraguan sejumlah program perlindungan anak dalam mengambil tindakan tegas terhadap perilaku anak yang membahayakan. Menurutnya, dalam kondisi tertentu, ketegasan justru merupakan bentuk kasih sayang.
“Sudah saatnya kita memulihkan anak-anak bukan dengan kekerasan yang baru, tapi dengan pendampingan yang disiplin, ramah anak, dan penuh empati,” tandasnya.
Editor : Ading