Jumat, 18 Apr 2025 10:46 WIB

Pemkot Klaim Kemiskinan Ekstrem Surabaya 0 Persen, DPRD: Tak Sesuai Kondisi Riil

  • Reporter : Ade Resty
  • | Kamis, 10 Apr 2025 13:42 WIB
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya, Anna Fajrihatin

Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya, Anna Fajrihatin

selalu.id - Pemerintah Kota Surabaya mengklaim angka kemiskinan ekstrem di wilayahnya telah mencapai 0 persen. Artinya, tidak ada lagi warga miskin ekstrem di Kota Pahlawan.

Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya, Anna Fajrihatin, mengatakan bahwa capaian ini merupakan hasil berbagai intervensi dari pemerintah kota, meski tantangan dalam pendataan masih menjadi kendala utama.

"Kalau sekarang nol, sesuai target Indonesia menuju 0 persen kemiskinan ekstrem," kata Anna saat ditemui selalu.id, Kamis (10/4/2025).

Namun, ia menegaskan bahwa angka tersebut lebih merupakan hasil penyelarasan data pusat, bukan hasil survei langsung pemerintah daerah.

“Masalahnya ada di data. Pemerintah daerah berharap data dari pusat bisa sinkron. Tapi sekarang ini, program-program berbeda masih pakai database yang berbeda-beda,” jelasnya.

Menurut Anna, selama ini pemerintah daerah sering menghadapi kendala karena banyaknya versi data kemiskinan dari berbagai kementerian, seperti Kementerian Sosial, Kemenko PMK, hingga Bappenas melalui data Resosek.

“Kalau nanti DTSN (Data Terpadu Semesta Nasional) muncul dan jadi data tunggal, kita di daerah akan sangat terbantu. Saat ini, program bantuan A bisa menggunakan database berbeda dengan program B. Itu menyulitkan,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan bahwa daerah tidak memiliki kewenangan mengubah data secara sepihak di lapangan. Bahkan ketika ada warga yang meninggal atau pindah domisili, pemerintah daerah tetap harus mengikuti mekanisme dari pusat.

Dalam proses pembaruan data terbaru, data yang telah disinkronkan pusat dikembalikan ke daerah untuk diverifikasi ulang oleh pendamping PKA (Pekerja Kesejahteraan Sosial) yang digaji langsung oleh Kementerian Sosial.

“Jadi bukan data baru. Ini data yang sudah disinkronkan di pusat, lalu dicek kembali di lapangan oleh pendamping. Kami di daerah hanya memfasilitasi,” tambahnya.

Terkait indikator kemiskinan ekstrem, Anna menjelaskan bahwa pengeluaran bulanan menjadi faktor utama, yakni sekitar Rp760 ribu per kapita. Indikator lain seperti kondisi rumah, listrik, atau sanitasi tetap diperhitungkan, tetapi bukan penentu tunggal.

“Bukan berarti rumahnya berlantai tanah lalu langsung dianggap miskin. Semua indikator ada bobotnya. Jadi harus dilihat total skornya, bukan hanya satu faktor,” tegasnya.

Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Surabaya, Ajeng Wira Wati, menilai bahwa kemiskinan ekstrem masih terlihat secara kasat mata di sejumlah wilayah kota.

“Warga dan kami di DPRD masih menemukan ketidaksesuaian antara data dan kondisi riil. Banyak warga yang layak menerima bantuan justru terlewat karena data tidak akurat atau proses survei tidak menjangkau mereka,” ujar politisi Gerindra itu.

Ia mendorong agar musyawarah kelurahan kembali diaktifkan sebagai forum menyamakan persepsi dan menyaring data kemiskinan secara akurat dari level RT dan RW.

“Kita butuh kecepatan dan ketepatan dari Dinsos dalam melakukan survei. Jangan sampai ada anak putus sekolah atau lansia tidak mendapat permakanan tapi luput dari bantuan,” tambahnya.

Ajeng juga menyoroti perbedaan persepsi tentang kategori miskin. “Pendapatan Rp742 ribu per kapita per bulan dianggap miskin, tapi banyak warga di Surabaya hidup dengan Rp25 ribu per hari. Bahkan, kami di Komisi D menilai, yang penghasilannya di bawah Rp1,5 juta per bulan pun masih pantas disebut miskin,” katanya.

Ia menekankan pentingnya jaminan kesejahteraan yang nyata, bukan hanya angka statistik.

“Kita ingin data ini bukan sekadar angka administratif, tapi menjadi dasar kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan warga,” pungkasnya.

Sebagai informasi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Surabaya, tingkat kemiskinan di Kota Surabaya mengalami tren penurunan dalam sepuluh tahun terakhir.

Jumlah penduduk miskin pada 2015 sebesar 165,72 ribu jiwa, turun menjadi 116,62 ribu jiwa pada 2024. Sementara itu, persentase penduduk miskin menurun dari 5,82 persen (2015) menjadi 3,96 persen (2024).

Baca Juga: Program PENA Kemensos jadi Solusi Kemiskinan Ekstrem

Editor : Ading