selalu.id – Andreas Pardede, aktivis ‘98 dan mantan komisioner Bawaslu Jawa Timur, menyatakan dukungannya terhadap aksi penolakan mahasiswa terhadap Undang-Undang TNI yang baru disahkan. Pardede menilai penolakan tersebut tepat dan selaras dengan sejarah Indonesia.
Ia menekankan trauma mendalam yang dialami rakyat Indonesia akibat dwi fungsi ABRI pada era Orde Baru. "Rakyat Indonesia sudah trauma dengan dwi fungsi ABRI," ujar Pardede kepada selalu.id saat dijumpai ditengah-tengah masa aksi demo, Senin (24/3/2025).
Ia menjelaskan bahwa dwi fungsi ABRI telah melahirkan berbagai kejahatan kemanusiaan, termasuk penculikan, pembunuhan, dan pembantaian di berbagai wilayah, seperti Papua, Lampung, dan Jawa Timur. Pardede mencontohkan kasus penculikan dan pembunuhan aktivis mahasiswa serta kasus buruh Marsinah yang disiksa dan dibunuh sebagai dampak langsung dari dwi fungsi militer.
Pardede juga mengingatkan bahwa dwi fungsi militer melahirkan rezim militeristik yang menggunakan kekerasan dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. "Kasus Marsinah, seorang aktivis buruh yang memperjuangkan kesejahteraan pekerja, menjadi bukti nyata kekejaman rezim tersebut," paparnya.
Pardede menegaskan bahwa penghapusan dwi fungsi ABRI merupakan langkah penting untuk mencegah terulangnya tragedi masa lalu dan memastikan tegaknya supremasi sipil. Ia mendukung upaya mahasiswa untuk memastikan TNI kembali ke barak dan tidak terlibat dalam urusan sipil.
Meski begitu, Pardede berharap agar UU TNI yang baru tidak mengulang kesalahan masa lalu dan memastikan perlindungan hak asasi manusia bagi seluruh warga negara.
Baca Juga: AJI dan KAJ Laporkan Dugaan Penganiayaan Jurnalis saat Aksi Tolak UU TNI di Surabaya
Editor : Ading