Jumat, 21 Mar 2025 00:44 WIB

UMSurabaya Soroti Tingginya Politik Uang dan Klientelisme Jelang Pilkada

Diskusi Publik tentang Tingkat Permisifitas Politik Uang dan Membaca Pola Klientelisme di Jatim Menjelang Pilkada 2024

Diskusi Publik tentang Tingkat Permisifitas Politik Uang dan Membaca Pola Klientelisme di Jatim Menjelang Pilkada 2024

selalu.id - Menyoal 'Politik Uang' dalam pesta demokrasi di Tanah Air, mengingat pada tahun ini (2024) Indonesia tengah mengadakan Pemilihan Umum baik sebelumnya Pemilihan Presiden RI (Pilpres) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Gubernur (Pilgub) secara serempak ditahun 2024 ini.

Menyikapi polemik tersebut, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya, menggelar Diskusi Publik tentang Tingkat Permisifitas Politik Uang dan Membaca Pola Klientelisme di Jatim Menjelang Pilkada 2024, dengan menghadirkan Tiga Narasumber. Diantaranya yaitu, Titi Angraini anggota Perludem, Komisioner KPU Choirul Umam, serta Radius Setiyawan selaku Peneliti Utama PUSAD UM Surabaya.

Jika ditinjau berdasarkan indeks persepsi korupsi yang dirilis pada tahun 2023, di awal posisi Indeks Persepsi Korupsi, Indonesia berada pada peringkat 115 dengan skor 34. Salah satu Narasumber yang dihadirkan dalam diskusi publik ini, yaitu Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini mengungkapkan, turunnya Indonesia ke peringkat 115 ini, semakin menggelisahkan Indonesia masuk negara dengan kategori pelarut demokrasi-demokrasi belum sempurna.

"Masih ada cacatnya dan itu ada 48 negara Kategori negara negara-negara yang masuk pada pulau demokrasi bisa dilihat disini, yaitu Indeks Persepsi Korupsi nya kalau dirata-ratakan 48 Indonesia 34 ya kalau dilihat dari skor rata-rata Kalau turun lagi menjadi 32 sebenarnya sudah masuk 'democratyc rezim' Negara Demokrasi," ungkap Titi yang juga anggota Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini.

Dikatakannya, Indonesia suka ber-Pemilu dan tidak konsisten di dalam berdemokrasi. Karena demokrasi itu menyarankan antikorupsi, jadi masih mendapatkan Pemilu itu sebagai pengganti atau memperkirakan kekuasaan Pemilu nya disukai sebagai instrumen pengisian jabatan, juga sebagai instrumen pengisian kekuasaan.

Tetapi, lanjut Titi menekankan, nilai-nilai demokrasi jujur, adil, transparan dan akuntabel anti korupsi, ternyata tidak hadir di dalam praktik demokrasi. Titi juga menyebut ada distorsi antara demokrasi dengan konsistensi dalam menerapkan nilai-nilai secara substansial. Menurutnya, prosedur hanya diambil untuk mengganti kekuasaan instrumen, untuk mengisi jabatan atau kemudian memperlihatkan kekuasaannya yang kemudian nilai-nilai demokrasi yang tidak diharapkan terjadi.

"Dua skor lagi kita tergelincir menjadi negara koruptor, yang kemudian terjadi politik uang di Pemilu dan Pilkada kita," jelasnya.

Hal ini terjadi, lanjut Titi, dipengaruhi oleh regulasi yang lemah terkait sistem pemilu-nya, penegakan hukumnya ataupun juga masyarakat di mana hukum itu berada. "Kita lihat seperti apa konsep apa yang ada, ini merupakan kejahatan dalam konsep politik adalah kejahatan dan serangan terhadap Pemilu yang bebas dan adil. Karena demokrasi membutuhkan Pemilu bukan sekadar prosedur," sebutnya.

Sementara, kalau dihat variabel-variabel demokrasi pemilu yang bersih atau 'free fire' bukan sekadar ada, tapi dia tidak membuat pemiliknya bersih pasti tidak membuat peminumnya bebas dan adil karena uang pembelokkan suara tidak lagi ditentukan oleh kehendak bebas.

Tetapi ditentukan oleh panduan uang sehingga dia mencederai yang sangat fundamental dari Pemilu yaitu asas jujur dan adil sebagai pilar Pemilu demokratis yang membuat Kenapa uang itu bisa makin merajalela dalam praktik aturan tentang politik uang di Undang-Undang Pilkada.

"Hal itu tidak main-main. Kalau di undang-undang pemilu masih ada pembatasan terkait dengan penegakan hukum yang memberi bisa dipidana, tapi yang menerima itu tidak bisa dipidana, itu di undang-undang pemilu. Tapi di undang-undang Pilkada kalau kita lihat pasal 187 A ayat 1 itu bisa mendukung, dan hukumannya itu kumulatif denda dan penjara minimal 3 tahun atau setara dengan 36 bulan, serta 72 bulan atau setara dengan 6 tahun dan denda minimal Rp 200 juta maksimal Rp 1 miliar," tandasnya.

"Regulasinya ngomong begini tapi faktanya tidak demikian. Saya yakin, kalau tadi temuan soal bagaimana praktik politik uang di lapangan nanti kita harus melanjutkannya. Bagaimana penegakan hukum menjadi luar biasa. Oleh karena itu kalau kita lihat kontributor maraknya politik uang kita dengan itu sesuatu yang begitu riil. Bukan hanya di politik uang yang menggunakan agen-agen mulai dari kelompok atau pengusaha bahkan birokrat termasuk juga apa namanya organisasi kemasyarakatan," imbuhnya.

Baca Juga: Luluk Tekankan Pentingnya Partisipasi Warga Jelang Pencoblosan di Jombang

Editor : Ading