selalu.id - Pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan terkait 144 jenis penyakit yang tidak tercakup oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kebijakan ini menjadi sorotan serius, terutama karena dampaknya terhadap masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan.
Anggota Komisi D DPRD Surabaya, Michael Leksodimulyo, menyoroti sejumlah permasalahan, mulai dari warga yang belum tercover BPJS, kesiapan puskesmas 24 jam, hingga kebijakan terkait 144 penyakit yang tidak dapat dirujuk ke rumah sakit.
Bahkan, ia mengungkapkan adanya kasus pasien dengan suhu tubuh 38 derajat Celsius yang ditolak di Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit karena tidak memenuhi kriteria BPJS. Namun, dia tidak enggan rumah sakit mana yang menolak tersebut.
“Ada pasien dengan demam 37,5–38 derajat sudah kejang, tapi tidak diterima di UGD karena syaratnya suhu harus mencapai 40 derajat Celsius. Padahal, secara medis, 40 derajat adalah kondisi kritis yang bisa berujung pada kematian,” ujar Michael, yang juga Mantan Direktur Marketing RS Adi Husada Undaan Wetan Surabaya.
Michael menjelaskan bahwa Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya telah memberikan kebijakan khusus dengan memanfaatkan dana APBD melalui KTP Surabaya untuk menggantikan kartu BPJS yang bermasalah. Namun, sayangnya perhatian utama harus diarahkan ke puskesmas.
“Untuk penyakit-penyakit yang tidak tercover BPJS, itu diarahkan ke puskesmas. Tapi puskesmas harus siap, baik dari segi jadwal jaga 24 jam, tenaga medis, hingga alat kesehatan,” tegasnya.
Menurut Michael, jika puskesmas tidak memiliki kesiapan penuh, masyarakat akan kehilangan akses layanan kesehatan dasar.
“Tidak ada alasan puskesmas 24 jam tetapi tidak ada dokter, bidan, atau perawatnya. Kalau sampai alat kesehatan juga tidak tersedia, maka manajemen Dinas Kesehatan perlu dipertanyakan,” tambahnya.
Michael juga meminta BPJS untuk segera meninjau ulang aturan terkait kriteria penerimaan pasien di UGD.
“Ambang batas itu terlalu tinggi dan bisa memicu angka kematian. Seharusnya, pasien dengan suhu di bawah itu sudah bisa diterima di UGD agar mendapatkan penanganan medis yang cepat,” tegasnya.
Selain persoalan teknis, Michael juga menyoroti kurangnya sosialisasi kebijakan terkait 144 jenis penyakit tersebut. Ia menilai masih banyak warga Surabaya yang belum mengetahui bahwa penyakit-penyakit yang tidak bisa dirujuk ke rumah sakit dapat ditangani di puskesmas 24 jam.
“Dinas Kesehatan harus memberikan sosialisasi hingga ke tingkat RT dan RW, agar masyarakat tahu mereka harus ke mana ketika membutuhkan layanan kesehatan,” ungkapnya.
Michael juga mengapresiasi langkah Pemerintah Kota Surabaya yang telah membuka 23 puskesmas 24 jam untuk layanan persalinan. Namun, ia menekankan bahwa puskesmas juga harus siap menangani penyakit-penyakit yang tidak tercakup BPJS.
“Puskesmas harus menjadi ujung tombak layanan kesehatan, terutama untuk kasus-kasus yang tidak bisa ditangani rumah sakit. Jika ada kekurangan tenaga medis atau alat kesehatan, maka tanggung jawab itu ada pada Dinas Kesehatan,” tegasnya.
Ia juga menyarankan agar klinik swasta sebagai fasilitas kesehatan pertama lebih dilibatkan untuk membantu mengurangi beban puskesmas.
Dengan semakin banyaknya kasus pasien yang ditolak rumah sakit akibat aturan ketat BPJS, Michael mendesak pemerintah, BPJS, dan Dinas Kesehatan untuk segera meninjau ulang kebijakan tersebut.
“Jika tidak ada kebijakan yang lebih inklusif, maka akan ada lebih banyak korban akibat ketidaksiapan sistem kesehatan kita,” pungkasnya.
Baca Juga: Gandeng BPJS Kesehatan, Pasien RSUD Eka Candrarini Melonjak 50 Persen

Editor : Ading