Sabtu, 15 Mar 2025 22:07 WIB

Pajak PPN 12 Persen QRIS, Pakar UNAIR: Masyarakat Bisa Beralih ke Transaksi Tunai

  • Reporter : Ade Resty
  • | Jumat, 27 Des 2024 14:05 WIB
Qris

Qris

selalu.id - Mulai 1 Januari 2025, Pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kebijakan ini menuai kritik, terutama terkait dampaknya pada transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), salah satu metode pembayaran digital yang semakin populer di masyarakat.

Pakar Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Rahmat Setiawan, SE, MM, menilai kebijakan ini berpotensi membuat masyarakat kembali beralih ke transaksi tunai.

“Kalau transaksi menggunakan QRIS terkena dampak PPN 12 persen, masyarakat akan memilih transaksi tunai. Orang akan berpikir, untuk apa menggunakan QRIS jika biayanya lebih tinggi?” ujar Prof. Rahmat.

Menurutnya, penerapan PPN pada transaksi QRIS bertentangan dengan upaya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang selama ini mendorong masyarakat beralih ke pembayaran non-tunai.

Salah satu tujuan utama kampanye transaksi digital adalah efisiensi dan transparansi, termasuk pencegahan tindak pidana seperti pencucian uang.

“Non-tunai memungkinkan semua transaksi tercatat dan mempermudah pelacakan, terutama dalam mencegah tindak pidana. Jika kebijakan ini diberlakukan, kemudahan bertransaksi yang selama ini digadang-gadang pemerintah bisa terhambat,” tambahnya.

Prof. Rahmat juga menyoroti dampak kenaikan PPN pada kebutuhan masyarakat sehari-hari. Meskipun ada pengecualian untuk barang tertentu, banyak produk kebutuhan pokok, seperti pasta gigi, sabun, dan deodoran, tetap akan terdampak.

“Barang-barang ini bukan barang mewah, tapi digunakan setiap hari. Dengan kenaikan PPN 12 persen, biaya hidup masyarakat akan meningkat,” jelasnya.

Selain itu, kenaikan PPN berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Jika konsumsi menurun, produksi barang juga akan berkurang, yang dapat berujung pada peningkatan angka pengangguran.

“Ketika daya beli turun, konsumsi ikut menurun, dan barang yang diproduksi tidak terserap. Akibatnya, perusahaan bisa mengurangi produksi, bahkan memutuskan hubungan kerja,” ungkap Prof. Rahmat.

Prof. Rahmat berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan kenaikan PPN ini. Menurutnya, tanpa mengubah undang-undang, pemerintah memiliki opsi untuk mempertahankan tarif PPN di angka 11 persen.

“Pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan untuk menyesuaikan tarif PPN antara 5 persen hingga 15 persen, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP. Jadi, penundaan kenaikan ini masih sangat memungkinkan,” pungkasnya.

Baca Juga: Wali Kota Eri Khawatir Warga Tak Siap Parkir Pakai Qris

Editor : Ading