selalu.id - Bertepatan dengan 16 Days of Activism yang mengkampanyekan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Ecstatica berkolaborasi dengan Gen Epistree membuat kegiatan bertajuk "Perempuan Bersuara" yang berisi pemutaran film "Pulih" dan pertunjukan monolog "Pelaminan Kosong".
Kedua karya tersebut bercerita masing-masing; Film Pulih tentang korban kekerasan seksual yang dihadapkan pada kerasnya gesekan politik kepentingan keluarga hingga upaya-upaya perjuangan pendampingan korban, dan Monolog Pelaminan Kosong tentang perempuan yang menapaki segala belenggu narasi dan budaya mempasifkan keberdayaan perempuan dalam relasinya.
Gedung Nasional Indonesia (GNI) Surabaya, Minggu (1/12) malam pun menjadi saksi digelarnya dua artikulasi pemikiran para seniman tersebut yang dihadirkan secara intens dan inklusif ke hadapan publik, utamanya bagi perempuan Surabaya.
Direktur Gen Epistree Muhammad Irfansyah mengatakan kolaborasi kampanye itu adalah upaya-upaya penyadaran dan edukasi yang bersifat preventif terhadap tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan. Mengingat, kasus tersebut masih banyak ditemui dan banyak berakhir pada kefatalan.
"Dua suguhan ini tidak hanya sekadar hiburan kita buat, tapi dengan maksimalnya kerja kekaryaan dari aktor-aktor dan seniman yang kita libatkan, kita yakin kita bisa mendaratkan edukasi dari film dan teater yang bisa mendukung upaya pemberdayaan peremuan dan anti kekerasan terhadap perempuan," ucapnya.
Film Pulih yang disutradari oleh Ryo Maestro ini menjadi produk kampanye anti kekerasan terhadap perempuan yang digawangi oleh Woman Crisis Center (WCC) Jombang. Dengan premis dan sajian yang kuat dan lugas dalam film ini membawa lontaran pesan eksplisit bahwa dalam realitas, korban kekerasan seksual hari ini masih terus dihadap-hadapkan pada jerat politik kepentingan yang tentu saja menjadikannya gagal melihat korban sebagai 'korban'.
Baca Juga: Perempuan Bersuara Suarkan Narasi HKTP dengan Film dan Monolog di Surabaya
Alih-alih mengambil mitigasi sesehat mungkin, korban selalu ditimpa banyak tuntutan nilai semu seperti pamor, nama baik, dan sebagainya yang semakin melukai korban.
Sedangkan Monolog Pelaminan Kosong yang dibawakan oleh Dyah Ayu Setyorini a.k.a Ading membawa pemahaman tentang value perempuan dan kepelikan relasi menjadi lebih intim dibicarakan.
Merujuk dari naskah kanon karya Yukio Mishima "Sotoba Komachi", permainan peran di "Pelaminan Kosong" juga berupaya mengusung ide-ide besar yang terkandung di dalamnya.
Derap era kosmopolit sebagai latar waktu yang memproyeksikan relevansi hari ini memberi celah untuk menyirkulasikan gagasan dasar tentang perempuan dan kutukannya yang terkandung dari karya aslinya yakni "Sotoba Komachi" mendapatkan proyeksi perspektif lebih luas dengan berbagai interpretasi.
Baca Juga: Perempuan Bersuara Suarkan Narasi HKTP dengan Film dan Monolog di Surabaya
Tak hanya mengyirkulasikan dialektika gagasan, tetapi Dyah Ayu juga menampilkan permainan peran yang menghipnotis. Dengan metode penelaahan dan keaktoran yang dikembangkan Platform Ecstatica lewat kanal kerja Reaktor, Dyah Ayu Setyorini sebagai aktor sekaligus generator utama dari gerak kreatif pada karya ini pun, menyajikan berbagai simpul baru atas pemaknaan perempuan melalui pergantian empat karakter Komachi sebagai reprentasi valuasi-valuasi perempuan.

Relevansi narasi yang kemudian didaratkan oleh Pelaminan Kosong dan Film Pulih memantik pula keterlibatan berbagai pihak, yang secara simultan memompa daya saji pementasan ini menjadi suatu rangkaian besar pergerakan bertajuk 'Perempuan Bersuara'.
Baca Juga: Perempuan Bersuara Suarkan Narasi HKTP dengan Film dan Monolog di Surabaya
Editor : Redaksi